Pertanian Adalah penompang hidup bagi umat manusia makalah masyarakat desa brayung | Pertanian

Pages

Monday 30 June 2014

makalah masyarakat desa brayung

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong masyarakat yang sangat jauh tertinggal, hal ini disebabkan keberedaan wilayah yang jauh dari pusat pembangunan Nasional. Bahkan hampir tidak tersentuh oleh pembangunan Nasional. Beberapa metode dan pendekatan telah dikembangkan untuk memahami masalah dan membantu merumuskan kebijakan guna memecahkan masalah pembangunan pedesaan. Sejak tahun 1970an para pakar banyak yang memanfaatkan metode, pendekatan, dan logika berfikir survei verifikatif dalam meriset masalah sosial masyarakat pedesaan.                                                                    Masyarakat desa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu daerah yang sama, yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang kuat dan sangat mempengaruhi satu sama lain. Hal ini dikarenakan pada masyarakat desa tradisi itu masih sangat kuat dan kental. Bahkan terkadang tradisi ini juga sangat mempengaruhi perkembangan desa, karena terlalu tinggi menjunjung kepercayaan nenek moyang mengakibatkan sulitnya untuk melakukan pembaharuan desa.                                                                                                                  Di sisi lain banyak hal yang mengakibatkan sebuah desa sulit untuk mengalami pembaharuan, antara lain isolasi wilayah, yaitu desa yang wilayahnya berada jauh dari pusat ekonomi daerah, desa yang mengalami ketertinggalan di bidang pembangunan jalan dan sarana-sarana lainnya, sulitnya akses dari luar, bahkan desa yang mengalami kemiskinan dan keminiman tingkat pendidikan. Pada umumnya masyarakat desa diidentikkan dengan masyarakat petani, ini dikarenakan masyarakat pedesaan dominan bermata pencaharian dari hasil pertanian yang merupakan petani-petani miskin yang mata pencahariannya di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang sangat jauh dari masyarakat perkotaan.
1.2   Rumusan Masalah
1.       Bagaimana keadaan masyarakat pedesaan di desa brayung?
  1. Bagaimana mobilitas komunitas di desa Brayung?
  2. Masalah apakah yang terjadi pada masyarakat desa dan di dunia di luar desa brayung?
  3. Bagaiman hubungan masyarakat Desa Brayung Dengan lembaga Terkait?

1.3 Tujuan



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Desa/Pedesaan
Yang dimaksud desa menurut Sutardjo Kartohadikusuma mengemukakan sebagai berikut:                                                                                                                        “ desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri.” Menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, social, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.
Sedangkan menurut Paul h. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:
1.      Di dalam masyarakat pedesaan memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.      System kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban)
3.      Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yag biasa mengisi waktu luang.
4.      Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
Masyarakat pedesaan identic dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Kerja bakti itu ada dua macam:
1.      Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah).
2.      Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiriberasal dari luar (biasanya berasal dari atas).
3.      Hakikat dan sifat masyarakat pedesaan
Beberapa gejala-gejala social yang sering diistilahkan dengan:
1.      Konflik (pertengkaran)
2.      Kontraversi (pertentangan)
3.      Kompetisi (persiapan)
4.      Kegiatan pada masyarakat pedesaan
5.      Sistem nilai budaya petani indonesia
Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.      Para petani di Indonesia terutama di pulau jawa pada dasarnya menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia harus menghindari hidup yang nyata dan menghindarkan diri dengan bersembunnyi di dalam kebatinan atau dengan bertapa, bahkan sebaliknya wajib menyadari keburukan hidup itu dengan jelas berlaku prihatin dan kemudian sebaik-baiknya dengan penuh usaha atau ikhtiar.
2.      Mereka beranggapan bahwa orang bekerja itu untuk hidup, dan kadang-kadnag untuk mencapai kedudukannya.
3.      Mereka berorientasi pada masa ini (sekarang), kurang memperdulikan masa depan, mereka kurang mampu untuk itu. Bahkan kadang-kadang ia rindu masa lampau mengenang kekayaan masa lampau menanti datangnya kembali sang ratu adil yang membawa kekayaan bagi mereka).
4.      Mereka menganggap alam tidak menakutkan bila ada bencana alam atau bencana lain itu hanya merupakan sesuatu yang harus wajib diterima kurang adanya agar peristiwa-peristiwa macam itu tidak berulang kembali.  Mereka cukup saja menyesuaikan diri dengan alam, kurang adanya usaha untuk menguasainya.
5.      Dan unutk menghadapi alam mereka cukup dengan hidup bergotong-royong, mereka sadar bahwa dalam hidup itu tergantung kepada sesamanya.
6.      Unsur-unsur desa
Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak, beserta penggunaanya.
Penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat.
Tata kehidupan, dalam hal ini pola pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.
Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak berdiri sendiri.
2.1  Fungsi Desa
Pertama, dalam hubungan dengan kota, maka desa yang merupakan “hinterland” atau daerah dukung yang berfungsi sebagai suatu daerah pemberian bahan makanan pokok.
Kedua, desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya.
Ketiga, dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industry, desa nelayan dan sebagainya.
Dari uraian tersebut maka secara singkat ciri-ciri masyarakat pedesaan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Homogenitas social
Bahwa masyarakat desa terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah laku maupun kebudayaan sama/homogen.Hubungan primer
Pada masyarakat desa hubungan kekeluargaan dilakukan secara musyawarah.
1.      Kontrol sosial yang ketat
Setiap anggota masyarakat saling mengetahui masalah yang dihadapi anggota lain bahkan ikut menyelesaikannya.
1.      Gotong royong
Nilai-nilai gotong royong pada masyarakat pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya.
1.      Ikatan sosial
Setiap anggota masyarakat pedesaan diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat.
1.      Magis religius
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam.
1.    Pola kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik  pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan


















BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Keadaan Desa Brayung
Keadaan desa yang ada di Brayung sam seperti dengan apa yang di katatakan para ahli sosiologi. Untuk kebudyaan di desa brayung sendiri sebagai berikut:  
A.Unsur-unsur Kebudayaan Desa brayung
   Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi, Koenjtaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur kebudayaan universal.
    Ada beberapa kebudayaan yang ada di desa Brayung yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
yaitu:
a.       alat-alat teknologi.
b.      sistem ekonomi.
c.       Keluarga.
d.      kekuasaan politik
4 unsur pokok yang meliputi kebudayaan yang terjadi di desa Brayung:
a.       sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
b.      organisasi ekonomi.
c.       alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama).
d.      Organisasi kekuatan (politik).[1][7]
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor).
Ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kelengkapan atau peralatan hidup manusia sehari-hari demi menunjang aktivitas kehidupan dan mencapai kesejahteraan. Peralatan dan perlengkapan yang dimaksud meliputi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat pabrik, alat transportasi.
2.      Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi).
Segala sesuatu yang berkenaan dengan perekonomian dan mata pencaharian diantaranya alat-alat pertanian, sistem jual beli, cara bercocok tanam, sistem produksi, sistem distribusi, sistem konsumsi).
3.      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
Yaitu cara-cara perilaku manusia yang terorganisir secara sosial meliputi sistem kekeraban, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem politik.
4.      Bahasa (lisan, tulisan).
Terdiri dari bahasa lisan, bahasa tertulis dan naskah kuno.
5.      Sistem pengetahuan.
Meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada masyarakat petani ada pengetahuan masa tanam, alat pertanian yang sesuai lahan, pengetahuan yang menentukan proses pengolahan lahan.
6.      Religi (sistem kepercayaan).
Berkenaan dengan agama dan kepercayaan yang dianut dalam suatu masyarakat.
7.      Kesenian.
Berkenaan dengan hal-hal yang menurut etika dan estetika seperti: seni gambar, musik, tari dan lainnya.

B. Wujud Kebudayaan Ada di desa brayung
Wujud kebudayaan merupakan bentuk yang dihasilkan oleh pemikiran kebudayaan. Adapun wujud kebudayaan menurut J.J. Hoenigman, ada tiga wujud kebudayaan, yakni:
a.       Gagasan
Yaitu wujud kebudayaan yang berupa gagasan, ide, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, disentuh dan bukan barang yang nyata. Jika gagasan ini dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan tersebut berada dalam karangan-karangan atau tulisan-tulisan. Misalnya: kitab kuno, prasati dan lain sebagainya.
b.      Aktivitas
Yaitu tindakan atau aktivitas manusia yang berasal dari pemikiran kebudayaan. Wujud kedua ini sering disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering berinteraksi. Sifatnya nyata, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya: sistem adat, sitem kemasyarakatan dan lain sebagainya.
c.       Artefak
Yaitu wujud fisik berupa hasil aktivitas atau karya manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, didokumentasikan serta sifatnya wujud konkret. Misalnya: Patung, bangunan dan lain sebagainya.

3.2 Mobilitas Komunitas Desa Brayung
Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian
Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor per­tanian, dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak terdapat sumber mata pencaharian hidup yang lain. Pendu­duk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder. Tetapi banyak pula desa-desa, terutama di Jawa, di mana sebagian besar penduduknya bekerja di luar sektor per­tanian. Meskipun demikian kepada pegawai sensus, petugas survai KB, atau kepada para peneliti ilmu sosial, mereka itu biasanya mengidentifikasikan dirinya sebagai petani. Bagi seorang peneliti memang sulit untuk menentukan perbedaan antara petani dan non-petani dan juga antara pekerjaan primer dan sekunder itu, hanya berdasarkan atas pernyataan mereka saja.
Mobilitas Geografis
Pola-pola, mata pencaharian dan aktivitas pekerjaan di luar sektor pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa. Hal ini telah dilukiskan dalam suatu laporan penelitian mengenai kehidupan komunitas-komunitas desa sekitar Jakarta (Koentjaraningrat 1975), yang juga termuat dalam bagian ke III dari buku bunga rampai ini. Dalam bagian yang khusus memuat karangan-karangan mengenai migrasi, transmigrasi dan urbanisasi itu, masalah mobilitas geografikal dari pendu­duk komunitas desa di Indonesia akan dibahas lebih mendalam.
3.3 Komunitas Desa Dan Dunia Di Luar Desa Brayung
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari daerah Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu. Banyak di antaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini. Dengan demikian, juga karena makin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi, pada waktu sekarang ini hampir tidak ada lagi komunitas desa bersahaja yang terisolasi di negara kita ini, yaitu desa dengan penduduk yang tidak sadar akan adanya dunia di luar desa itu. Dalam pada itu terhadap banyak komunitas desa di Indonesia kita dapat menerapkan konsep Redfield mengenai masyarakat petani yang warganya berupa ”  orang pedesaan, bagian dari peradaban-peradaban kuno, yang menggarap tanah mereka sebagai mata pencaharian hidup dan sebagai suatu cara hidup tradisional. Mereka itu berorientasi terhadap serta terpengaruh oleh suatu golongan priyayi di kota-kota dengan cara hidup yang sama seperti mereka walaupun dalam bentuk yang lebih beradab.
Walaupun  demikian   kesadaran  akan  adanya  suatu dunia luas di luar komunitas desa sendiri perlu dianalisa, lepas dari jangkauan hubungan dari para petani pedesaan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu di dunia luar itu tadi, sedangkan kesadaran tadi itu juga belum berarti bahwa para petani pedesaan itu juga mempunyai perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar itu. Seorang petani pedesaan tertentu mungkin mempunyai kesadaran akan adanya suatu dunia yang luas di luar batas komunitasnya sendiri; ia malahan mungkin mempunyai perhatian serta pengertian besar mengenai beberapa masalah yang adadi dunia luar tadi, padahal ruang lingkup hubungannya dengan individu-individu atau kelompok-kelompok di kota terbatas sekali. Sebaliknya, seorang petani tetangganya, walaupun juga memiliki kesadaran tadi, mungkin saja tidak mempunyai perhatian banyak serta penger­tian mengenai dunia di luar desanya, meskipun ia mungkin mengenal banyak orang di kota, bahkan di beberapa kota lain yang jauh letaknya.                          Pada hemat saya, suatu konsep yang sangat cocok untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan mengenai dunia di luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya  di   sana, adalah konsep  yang dikembangkan oleh ahli antropologi-sosial J.A. Barnes mengenai “lapangan lapangan sosial” atau social fields (1954). Menurut konsep   itu, petani desa pun dalam  kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam “lapangan-lapangan sosial” yang berbeda-beda, menurut keadaannya yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosialnya dalam “lapangan hidup” pertanian. Dalam hubungan sosial ini termasuk kerabatnya yang terdekat, tetangganya,   kenalan-kenalannya yang memiliki  tanah pertanian dekat pada tanah pertaniannya sendiri, penduduk dukuh-dukuh lain yang juga menjadi anggota organisasi   irigasi subak yang sama, para  pemilik tanah yang tanahnya sedang digarap atas dasar bagi-hasil, dan para buruh tani yang berasal dari desa-desa lain pada musim panen.                                                  Banyak di antara para petani mempunyai mata pencaharian tambahan sebagai penjaja buah-buahan atau sayur-mayur, atau menjadi pedagang barang kerajinan tangan atau kebutuhan rumah tangga di pasar. Kecuali kaum kerabatnya, tetangga-tetangganya, dan teman-temannya, para petani dari golongan ini juga mempunyai hubungan dalam lapangan sosial para pembelinya dan langganannya, yang biasanya berasal dari desa lain, atau dengan para tengkulak yang memang mungkin berasal dari desanya sendiri, tetapi lebih lazim dari desa dan bahkan kota lain.                                         Para petani yang dalam bulan-bulan sewaktu kesibukan produksi pertanian sedang menurun, seringkali pergi merantau secara musiman untuk bekerja menjadi buruh pekerjaan umum dalam proyek-proyek pemugaran atau pembangunan jalan raya, jembatan, bendungan serta saluran irigasi, atau untuk menjadi buruh bangunan dalam proyek-proyek penamahan di kota-kota, atau menjadi tukang becak di kota-kota. Mereka ini biasanya mempunyai hubungan yang lebih ekstensif lagi, dan yang melingkupi lapangan-lapangan sosial yang lebih luas.                                                         Dengan mempergunakan konsep “lapangan sosial” sebagai jaringan-jaringan hubungan para petani pedesaan, seorang peneliti dengan demikian dapat membuat suatu deskripsi kongkrit secara kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan-lapangan sosial para petani yang berdasarkan sifat, ruang lingkup, intensitas, serta frekuensi dari hubungan-hubungannya.                                                      Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan oleh sifat dari “lapangan sosial” yang menjadi lapangan hidup serta lapangan orientasi mereka. Dalam tahun 50-an, ketika G.W. Skinner dan beberapa ahli antropologi Amerika meneliti daerah pedesaan di beberapa tempat di Indonesia, dan berdasarkan observasi mereka telah menulis karangan-karangan mengenai Local, Ethnic and National Loyaltiesdn Village Indonesia (1959), ternyata bahwa loyalitas orang desa di negeri kita masih sangat terorientasi terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok dalam lingkungan masyarakat desanya sendiri. Data yang diajukan dalam karangan-karangan tersebut memang menunjukkan bahwa ruang lingkup pola-pola “lapangan sosial” para petani Indonesia waktu itu rupa-rupanya masih terbatas kepada lingkungan lokal, dan perhatian para petani terhadap masalah-masalah nasional belum berkembang. Jika para ahli antropologi tadi mengadakan pengamatan mereka sekarang, dalam dasawarsa 70-an ini, mereka mungkin akan melihat bahwa per­hatian terhadap masalah-masalah di luar lokalitas desa mereka sudah banyak, dan karena itu pola-pola “lapangan sosial” orang desa sudah mempunyai ruang-lingkup yang jauh lebih luas. Sebaliknya, masalah apakah loyalitas nasional para petani di berbagai daerah pedesaan di Indonesia juga sudah berkembang adalah hal yang memang masih perlu diteliti lebih mendalam.                                  Loyalitas etnik adalah masalah yang lain lagi. Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat desa itu. Dengan demikian, dalam masyarakat desa seperti yang juga akan diuraikan pada halaman lain, hubungan antara suku-bangsa jarang menimbulkan masalah. Hanya dalam masyarakat kota, di mana bermukim berbagai suku-bangsa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, untuk bersaing dalam memperoleh kesempatan pendidikan, kerja dan politik, maka masalah hubungan antar suku bangsa itu timbul.          Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masya­rakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan “lapangan-lapangan sosial” dengan ruang-lingkup lokal. Dengan demikian kecenderungan orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat terjaga. Juga usaha pengembangan loyalitas nasional pada penduduk desa di Indonesia sebaiknya merupakan usaha pengem­bangan lebih lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah lokal. Dalam hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas lokal.
3.4. Hubungan Masyarakat Desa Brayung dengan Lembaga Pertanian
       Untuk setiap desa pasti ada lembaga pertanian. Kondisi lembaga pertanian di desa Brayung sendiri seperti berikut:
·          Lemabaga yang melakukan fungsi penyediaan sarana produksi pertanian
-pupuk : diperoleh dari kelompok tani

·         Lembaga yang melakukan fungsi Penyediaan Tenaga Kerja
Kegiatan usahatani :
-          Laki-laki : membuat lubang  - dengan system upah harian
-          Perempuan : member benih – dengan system upah harian
·         Lembaga yang dapat melakukan fungsi pengolahan hasil pertanian
-          Hasil panen jagung Desa Brayung tidak ada yang diolah ,melainkan langsung dikirim ke perusahaan
-           untuk hasil benih yang di dapat dari eksport ke luar negeri .
-          Aturan atau kesepakatan yang dilakukan adalah orang luar tidak boleh membeli ,atau dijual di orang umum karena harga yang di tawarkan akan berbanding terbalik dari harga yang telah ditetapkan .
·         Lembaga Pemasaran Hasil Pertanian  Jagung Pioneer
-          Semua hasil dikirim ke perusahaan
-          Dijual atau dikirim ke perusahaan
-          Penentuan harga hasil pertanian adalah perusahaan
-          Pembayaran yang dilakukan oleh pihak penerima hasil pertanian adalah 15 hari setelah panen .
·         Kelompok tani / gabungan kelompok tani
        Untuk kegiatan kelompok tani di Dusun Brayung antara lain pembenahan air ,kerjabakti ,membersihkan daun-daun ,dan sampah di sungai atau di sekitar lingkungan dusun jedong .
·         Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA)
          Selain terdapat kelompok tani di desa Brayung juga terdapat Himpunan Petani Pemakai Air.
·         Lembaga Keuangan / Perkreditan
           Ada lembaga perkriditan di Desa Brayung tapi jarang di ketahui petani setempat karena biasanya perkriditan di mata petani malah membebankan dirinya sendiri. Dengan rincian 200.000 – 300.000 dari perusahaan dengan output 8-3 juta ,dari 2 ha lahan sawah dan tegalan bagi yang meminjam .

PERUBAHAN SOSIAL DALAM LEMBAGA YANG TERKAIT DENGAN USAHATANI
-          Tidak pernah terjadi perubahan pada perkembangan sewa-menyewa lahan & bagi hasil (maro,mertelu,mrapat)
-          Tidak pernah terjadi perubahan pada lembaga penyediaan sarana produksi pertanian
-          Cara system pengadaan tenaga kerja untuk usahatani adalah upah harian .
-          Perkembangan kelompok tani / HIPPA tergantung dari cuaca , jika nmusim kemarau air akan sulit di dapat .













BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Komunitas desa di Indonesia digolongkan berdasarkan jenis usaha taninya yaitu Desa yang bercocok tanam di Ladang dan Desa yang bercocok tanam di Sawah .Untuk cara bercocok tanam Menetap dapat melakukan 3 perlakuan yaitu mengelola kebun kecil di sekitar rumah , Tanah pertanian kering, Tanah pertanian basah yang di irigasi .
Pertanian di desa mengalami suatu fregmentasi karena pertambahan penduduk yang meningkat . Sehingga memunculkan suatu Involusi pertanian yang menyebabkan munculnya suatu Mobilitas komunitas desa yang menyebabkan pencaharian penduduk berubah sesuai dengan kondisinya .

4.2  Saran
Untuk makalah ini seharusnya para pembaca dapat memahami betul isi dari makalah ini karena akan berpengaruh pada kondisi atau perkembangan tentang pertanian . Khususnya bagi perkembangan pertanian di Indonesia dan juga nasib petani di Indonesia yang saat ini makin memburuk .











DAFTAR PUSTAKA


Astrid S , Susanto, Dr, Phill. Pengantar Sosiologi , Bira Cipta , 1983 .
Koentjaraningrat 1961 Some Social-Anthropological Observations on Gotong-Royong Practices in Two Villages of Central Java. Ithaca, N.Y. Cornell University Modern Indonesia Project. Monograph Series.1967Tjelapar: A Village in South Central Java, Villages in Indonesia. Koentjaraning­rat editor. Ithaca, N.Y., Cornell Univesity Press.
1974   Non-Farming Occupations in Village Communities. Masyarakat Indonesia, I: him. 45-61.
1975   Anthropology in Indonesia: A Bibliographical Review. ‘sGravenhage Martinus Nijhooff. 1977 Sistem Gotong Royong Dan Jiwa Gotong Royong. Berita Antropologi   IX/30: him. 4-16.

Kolff, G.H. van der 1937De Historische Ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een Afgelegen Streek op Java: Voorlopige Resultaten van Plaatselijk Onderzoek, Volkskredietwezen: hlm. 3-70.







1 comments:

  1. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    ReplyDelete