BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seperti diketahui, dinamika hubungan
agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat
manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya
juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara
bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di
abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad
pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Diskusi mengenai agama dan negara masih
terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada dasarnya yang diperdebatkan adalah
perlu tidaknya campur tangan agama dalam urusan kenegaraan. Oleh karenanya,
kajian terhadap urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat penting. Dari
sana kita akan dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap negara.
Juga perlu dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka pada makalah ini akan diuraikan
tentang pentingnya bernegara dan beragama. Dilanjutkan dengan hubungan antara
agama dan negara ditinjau dari paham teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga
nantinya kita dapat menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama dalam
negara.
Orientasi ke depan adalah kita dapat
menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai ideologi, mampu menganalisa
konsep hubungan agama dan negara dalam Islam serta dapat mengkritisi hubungan
agama dan negara di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah
pengertian agama?
2. Bagaimana
fungsi agama di masyarakat?
3. Apakah
pengertian negara?
4. Apa
yang melatar belakangi timbulnya Negara?
5. Apakah
hubungan agama dan Negara?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui tentang pengertian agama
2. Untuk
mengetahui fungsi agama di masyarakat
3. Untuk
mngetahui pengertian negara
4. Untuk
mengetahui latar belakang timbulnya Negara
5. Untuk
mengetahui hubungan agama dan Negara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Agama
Kata Agama berasal dari bahasa
Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu
jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena
itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas
dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan
oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang
perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat
dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa
Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian
religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan
hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya
secara horizontal (Sumardi, 1985:71). Agama itu timbul sebagai jawaban manusia
atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi
sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia
harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga
yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal
yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi
pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama,
sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an
surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan
Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat
dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus
dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi
utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama
dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip
oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai
kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan
nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang
memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya
sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan
keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas
yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana,
sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama
Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam telah dirumuskan agama sebagai
berikut: “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang
terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha
Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia,
pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam
semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75). Uraian Sijabat ini menekankan
agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan
Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam
hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya.
Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu
yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
B. Fungsi
Agama di Masyarakat
Pengertian fungsi disini adalah sejauh
mana sumbangan yang diberikan agama terhadap masyarakat sebagai usaha yang
aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam hal ini ada dua fungsi agama
bagi masyarakat diantaranya:
a. Agama
telah membantu, mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi
kewajiban – kewajiban sosial dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi
menyalurkan sikap – sikap para anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban –
kewajiban sosial mereka. Dalam hal ini agama telah menciptakan sistem nilai
sosial yang terpadu dan utuh.
b. Agama
telah memberikan kekuatan penting dalam memaksa dan mempererat adat istiadat
yang dipandang bagus yang berlaku di masyarakat.
Secara lebih jauh bahwa fungsi agama di
masyarakat dapat dilihat dari fungsinya terutama sebagai suatu yang
mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama menciptakan suatu ikatan
bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem
sosial dukungan bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin
adanya persetujuan dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan
nilai-nilai sosial, maka yang menunjukan bahwa nilai-nilai keagamaan tesebut
tidak mudah diubah, karena adanya perubahan dalam konsepsi-kosepsi kegunaan dan
kesenangan duniawi.
C. Pengertian
Negara
Negara adalah organisasi yang didalamnya
ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintah yang berdaulat. Dalam arti
luas, negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara
konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Jadi, negara adalah suatu
wilayah yang didiami oleh penduduk secara tetap dan punya sistem pemerintahan.
Secara etimologi istilah Negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state
(Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat
itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap.
Secara terminologi Negara diartikan
dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
Secara khusus, pengertian negara dapat diketahui dari beberapa ahli kenegaraan,
antara lain :
-
Menurut Aristoteles, negara adalah
persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik - baiknya.
-
Menurut Karl Mark, negara adalah alat
yang berkuasa ( kaum borjuis/kapitalis ) untuk menindas atau mengeksploitasi
kelas yang lain ( proletariat / buruh ).
-
Menurut Logemann, negara adalah
organisasi kemasyarakatan ( ikatan kerja ) yang mempunyai tujuan untuk mengatur
dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
-
Menurut Harold J. Laski, negara adalah
suatu masyarakat yang terintegrasi karena punya wewenang yang bersifat memaksa
dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan
bagian dari masyarakat.
-
Menurut Kranenburg, negara adalah suatu
sistem dari tugas - tugas umum dan organisasi yang diatur dalam usaha mencapai
tujuan yang juga menjadi tujuan rakyat yang diliputinya, sehingga perlu adanya
pemerintahan yang berdaulat.
-
Menurut Mr. Soenarko, negara adalah
suatu organisasi masyarakat yang mengandung tiga kriteria yaitu ada daerah,
warga negara, dan kekuasaan tertentu.
-
Menurut Meriam Budiarjo, negara adalah
suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang
berhasil menuntut warganya untuk taat pada peraturan perundang - undangan
melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.
D. Latar
Belakang Timbulnya Negara
Asal
mula terjadinya Negara berdasarkan fakta sejarah.
a. Penduduk
(occupatie)
Hal
ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai,
kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya Liberia yang diduduki budak – budak
Negara yang dimerdekakan tahun 1847.
b. Peleburan
(fusi)
Hal
ini terjadi ketika Negara – Negara kecil yang mendiami suatu wilayah
mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang
baru. Misalnya terbentuknya federasi Jerman tahun 1871.
c. Penyerahan
(Cessie)
Hal
ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada Negara lain berdasarkan
sutau perjanjian tertentu.
d. Penaikan
(Acessie)
Hal
ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan lumpur sungai atau
dari dasar laut (delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok
orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya wilayah Negara Mesir yang
berbentuk dari delta sungai Nil.
Disamping
itu terdapat beberapa teori pembentukan Negara, diantaranya adalah:
a. Teori
Kontrak Sosial
Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan bahwa Negara menimbulkan rasa
takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Jika warga Negara melanggar
hukum Negara, tidak segan – segan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati,
keadaan alamiah ditafsirkan suatu keadaan manusia yang hidup bebas dan
sederajat menurut kehendak hatinya sendiri dan mengajarkan hidup rukun,
tentram, tidak mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari
sesamanya.
b. Teori
Ketuhanan
Teori ketuhanan dekenal juga dengan
doktrin teokratis dalam teori asal mula Negara. Teori ini bersifat universal
dan ditemukan baik di dunia timur maupun di dunia barat, baik dalam teori
maupun praktik. Diabad pertengahan, Bangsa Eropa menggunakan teori ini untuk
membenarkan kekuasaan raja – raja yang mutlak. Doktrin ini menggunakan hak –
hak raja yang berasal dari tuhan untuk memerintah dan bertahta sebagai raja
(devine right of kings). Doktrin ini lahir
sebagai resultante controversial dari kekuasaan politik abad
pertengahan.
c. Teori
Kekuatan
Teori kekuatan secara sederhana dapat
diartikan bahwa Negara yang pertama adalah dominasi dari kelompok yang terkuat
terhadap kelompok yang terlemah. Negara dibentuk Negara penaklukan dan
pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari kelompok etnis yang lebih
kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan
Negara.
d. Teori
Organis
Konsep organis tentang hakikat dan asal
mula tebentuknya Negara adalah suatu konsep biologis yang melukiskan Negara
dengan istilah – istilah ilmu alam. Negara dianggap atau disamakan dengan
makhluk hidup, manusia, atau binatang.
e. Teori
Histories
Teori histories atau teori evolusionistis
(gradualistic theory) merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga – lembaga
sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan –
kebutuhan manusia.
E. Hubungan
Agama dan Negara
Negara dan agama merupakan persoalan
yang banyak menimbulkan perdebatan (discoverese) yang terus berkelanjutan di
kalangan para ahli. Berikut penulis menguraikan hubungan agama dan negara
menurut beberapa paham.
1.
Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena
pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman tuhan
segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah
Tuhan.
2.
Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan.
Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu
sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang
sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk
tertindas.
Berbicara mengenai hubngan agama dan
negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya
bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi karena
persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara
dapat digolongkan menjadi dua, diantaranya :
1. Hubungan
Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonis tikadalah
sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan Islam
sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah pada masa kemerdekaan dan sampai
pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang
dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa
implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika
terhadap idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade
1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan
Islam dan Nasionalis
Gerakan
Nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah
di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama
sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis
mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran
agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik
Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945
serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang
secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan
politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat
ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun
ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal
tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini
dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam
sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain,
umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2. Hubungan
Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat
hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada
kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz
et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan
politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam
ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang
akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada
indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih
akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya
wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap
positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu
berspektrum luas dan memiliki sifat yang berbeda diantaranya :
Struktura,
yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan
ke dalam Negara.
Legislatif
, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap
kepentingan Islam.
Infrastructural,
yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan
umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
Kultural,
misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan
idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru,
hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari
waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat
berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di
Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan Islam
pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal
ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di
kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai
akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan
orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang
dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat
Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan
ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan Islam dan negara berawal dari
hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap
akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah
semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan
antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik
politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan
antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme
politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi
baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam
dan negara.
Dikalangan cendikiawan muslim, polemic
tentang hubungan antara agama dan negara masih terjadi perbedaan pendapat, di
Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan yaitu pendapat atau
pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid mengemukakan
gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai
berikut:
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil,
konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama
dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang
dimensinya adalah spritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan
Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehidupan agama dan negara. Seorang
intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri
Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan
Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah
menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.
Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir
Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa.
Dengan konklusi bahwa dalam batas
tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara negara dan agama, M.Thahir
Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun Mintaredja telah terjebak ke
alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai
agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama dalam arti yang luas. Dengan
demikian menurut M, Tahir Azhary , konklusi Mintaredja sesungguhnya
kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas
ia tafsirkan sebagai “Way of Life now in the earth and in the heaven after
death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam merupakan
suatu totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan
antara kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan fakta otentik, jelas bahwa
dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal ini Islam)
dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan
yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini
adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara hubungan manusia
dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran, ayat 112.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan
firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang artinya
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan diantara manusia supaya
kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.” (al-Nisa’ : 58-59).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara dalah
tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin
norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Kehidupan manusia,
dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara.
Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan
agama merupakan keluhan makhluk tertindas
Agama, secara sederhana, pengertian
agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah
(terminology) menurutnya dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama,
dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Pengertian agama yang dikutip
sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepakatan dan hal ini sudah dapat diduga
sebelumnya karena sebagaimana dikatakan, bahwa kita sulit sekali atau mustahil
menjumpai definisi yang dapat diterima semua pihak
Negara, secara literal istilah Negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni kata staat, state, etat itu
diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang
tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminology, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam
daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
B. Saran
Penulis berharap dengan makalah ini bisa
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang apa itu dan bagaimana hubungan
antara agama dan Negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim, Karl. Ideologi
dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge.
Penerjemah: F. Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Notonagoro. Pancasila
Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
0 comments:
Post a Comment