BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Dalam proses budidaya tanaman
yang masalah yang sering ditemukan adalah serangan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) terhadap tanaman
budidaya. Organisme Pengganggu Tanaman terdiri dari hama, penyakit dan gulma. Pada suatu lahan pertanian sangat
mengganggu laju pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan, ini dikarenakan antara
tanaman yang dibudidayakan dengan OPT ini bersaing untuk mendapatkan makanan,
serat dan tempat perlindungan, maka dari itu untuk mengatasi masalah ini perlu
dilakukan upaya pengendalian yang terpadu demi menjaga kualitas tanaman
tersebut.
Kegiatan fieldtrip di daerah Lawang untuk mengobservasi lahan pertanian. Dalam suatu areal
pertanaman, kemunduran produksi merupakan hal yang sering terjadi. Di lahan tersebut
kita menemukan berbagai macam tanaman budidaya dan tanaman yang terserang penyakit
dan hama yang merupakan masalah bagi para petani. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kemunduran produksi adalah karena adanya gangguan hama dan patogen
penyebab penyakit.
Kehadiran
tanaman yang tidak diinginkan seperti gulma ataupun yang lain yang berperan sebagai
organisme pengganggu tanaman (OPT) pada lahan pertanian dapat mengakibatkan terjadinya
kompetisi atau persaingan dengan tanaman pokok (tanaman budidaya) dalam hal penyerapan
unsur-unsur hara, penangkapan cahaya, penyerapan air dan ruang lingkup,
mengotori kualitas produksi pertanian, dapat mengeluarkan zat atau cairan yang
bersifat toksin (racun) serta sebagai tempat hidup atau inang tempat berlindungnya
hewan-hewan kecil, insekta dan hama sehingga memungkinkan hewan-hewan tersebut dapat
berkembangbiak dengan baik, mengganggu kelancaran pekerjaan para petani,
sebagai perantara atau sumber hama dan penyakit, mengganggu kesehatan manusia,
menaikkan ongkos-ongkos usaha pertanian. Dengan demikian kita dapat langsung terjun
ke lapangan dan wawancara dengan petani mengenai areal pertanaman.
1.2
Tujuan
Meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan melalui penguatan studi DPT sehingga mampu melaksanakan dan
mengevaluasi tanaman di suatu lahan.Sekaligus mengamati Organisme Penggangu
Tanaman (OPT) yang ada di lahan wortel dan menganalisis cara pengendalian yang tepat.
1.3
Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengenali jenis-jenis
OPT yang ada di setiap varietas dan lahan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri yang ditimbulkan setiap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) agar dapat mengendalikan secara tepat.
BAB
II
METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Waktu : Hari Sabtu, tanggal 11 Mei 2013
Tempat :
Desa Sumberbrantas, kecamatan Bumiaji, Batu, Malang
2.2 Alat, Bahan dan Fungsi
1. Kuisioner : Untuk mendapatkan data dari narasumber
2. Bolpoin :
Untuk menulis data dari narasumber
3. Kamera :
Untuk mendokumentasikan data-data dari lapang
4. Buku KDS :Untuk mengidentifikasi organisme di areal pengamatan
2.3 Pengamatan
2.3.1 Hama
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya


Mengamati hama
yang ada di areal lapang pengamatan
![]() |

Mengidentifikasi
organime dengan menggunakan buku KDS
2.3.2 Penyakit
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya




Menulis
laporan hasil pengamatan
2.3.3 Musuh Alami
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya
mengenai musuh
alami yang terdapat di daerah tersebut


Mengamati musuh
alami yang ada di areal lapang pengamatan
![]() |

Menulis
laporan hasil pengamatan
2.3.4 Pengolahan
Tanah (Faktor Edafik)
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya


Mengamati
pengoalahan tanah yang ada
di areal lapang
pengamatan
![]() |

Menulis
laporan hasil pengamatan
2.3.5 Penggunaan
Pestisida
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya


Menulis
laporan hasil pengamatan
2.3.6 Penggunaan
Varietas Tahan
Menyiapkan
kuisioner dan bolpoin

Bertemu dengan
narasumber,
mencari informasi selengkap-lengkapnya


Menulis
laporan hasil pengamatan
BAB
III
KONDISI
WILAYAH UMUM
3. 1. Lokasi Fieltrip
Pada tanggal 11 Mei 2013 kami mahasiswa Fakultas
Pertanian melakukan wawancara dengan kelompok tani yang ada di Dusun Jurangwali
Kecamatan Bumiaji Kabupaten Sumber berantas. Petani-petani yang ada di Dusun
Jurangwali tersebut mempunyai gabungan kelompok tani. Wawancarabertujuan untuk
mengetahui dan menambah ilmu pertanian dengan secara langsung bertanya kepada
petani-petani di Dusun Jurangwali tersebut.
3. 2. Latar Belakang Petani
Jumlah
penduduk Desa Sumber Brantas sebanyak 4.100 jiwa dan sebagian besar bekerja sebagai petani
sebanyak 21,17%. Tingkat pendidikan terakhir penduduk Desa Sumber Brantas sebagian besar adalah tamat SD/sederajat, yaitu sebesar 58%.
Pada Dusun Jurangwali kecamatan Bumiaji Kabupaten
Sumberberantas yang telah kami kunjungi sebelumnya terkenal dengan bermacam –
macam komoditas yang dibudidayakan. Seperti kentang, kubis, sawi, wortel, dan
lain-lain. Tepatnya hari sabtu pada tanggal 11 Mei 2013 kami melakukan
wawancara dengan salah satu petani yang ada di Dusun Jurangwali kecamatan Bumi
aji Kabupaten Sumberberantas yang bernama Bapak Sudarmaji (53). Salah satu
petani yang menanam komoditas kentang, kubis, dan wortel. Dari menanam
komoditas tersebut, hasil produksi dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari – hari. Selain itu, juga dapat menunjang kebutuhan ekonomi keluarga.
Masyarakat dusun Jurangwali kecamatan Bumiaji
Kabupaten Sumberberantas mempunyai kelompok tani yang sifatnya berbagi
pengalaman antara satu petani dengan petani lainnya. Kelompok tani tersebut
diketuai oleh Bapak yang menjadi panutan bagi masyarakat dalam pengelolaan
usaha tani. Bapak Sudarmaji ini
menguasai 1 ha lahan tegal yaitu wortel, kubis, dan kentang. Sistem pengolahan
lahan yang dilakukan menggunakan sistem pertanian yang biasanya umum dilakukan.
Dengan menggunakan cangkul, pembuatan bedeng dan penaburan benih. Petani di
Dusun Jurangwali ini dalam pertaniannya menggunakan pupuk kimia dan pupuk
organik. Dalam pertaniannya, tidak menggunakan mulsa sintetis maupun mulsa
alami. Selain itu kelompok tani tersebut bekerja sama dengan Bank sehingga
dapat melakukan simpan pinjam pada Bank tersebut.
3. 3.
Sejarah
Penggunaan Lahan
Desa
Sumber Brantas merupakan salah satu desa yang menjadi daerah penyangga bagi
kawasan Tahura Raden Soerjo. Luas
wilayah Desa Sumber Brantas sebesar 541,1364 Ha
dan berada pada ketinggian 1.400
s/d 1.700 di atas permukaan laut. Penggunaan lahan di Desa Sumber Brantas
didominasi oleh lahan pertanian yakni sebesar 58,82%, hal ini dipengaruhi oleh
kondisi tanah yang subur dan iklim yang menunjang untuk kegiatan pertanian.
Jumlah
penduduk Desa Sumber Brantas sebanyak 4.100 jiwa dan sebagian besar bekerja sebagai petani
sebanyak 21,17%. Tingkat pendidikan terakhir penduduk Desa Sumber Brantas sebagian besar adalah tamat SD/sederajat, yaitu sebesar 58%.
3. 4.
Penggunaan
Lahan
3.4.1
Jenis Penggunaan Lahan
Lahan
pertanian yang termasuk dalam
kawasan budidaya di sumber
berantas memiliki kelerengan <15%, hal ini telah sesuai dengan ketetapan
yang berlaku untuk penanaman tanaman hortikultura, jadi petani yang memiliki lahan pada kawasan
ini tetap dapat mempertahankan kegiatan pertanian serta komoditas yang ditanam.
Pada kawasan ini masyarakat diberi kebebasan untuk mengelola lahannya, namun masyarakat
juga tetap diperbolehkan untuk mengaplikasikan sistem agroforestry jika mereka
menginginkannya.
Tanah
yng di milik oleh pak Sudarmaji di sumber berantas seluas kurang lebih 1
hektar, dimana tanah tersebut termasuk tanah jenis tegalan.
3.4.2
Sistem Budidaya
Sistem
budidaya petani di sumber berantas menggunakan sistem monokultur,
3.4.3
Tanaman Budidaya (komoditas)
Pada
desa sumber brantas memiliki ketetapan yang berlaku untuk penanaman tanaman
hortikultura. Hortikultura ini menfokuskan pada budidaya tanaman buah, tanaman
bunga, tanaman sayuran,tanaman obat-obatan, dan taman (lansekap). Sepertipada
contoh lahan yang kita datangi, petani disana memilih tanaman sayur sebagai
tanaman hortikultura.
Pada
lahan pak Sudarmi memilih komuditas wortel, kubis dan kentang untuk
dibudidayakan. Pada tanaman kubis masa tanam selama tiga bulan sepuluh hari,
tanaman wortel selama 4 bulan dan tanaman kentang selama 4 bulan, sehingga
adanya rotasi tanaman.
Bab IV HasildanPembahasan
4.1
Hasil
4.1.1
Hama yang ditemukan + dokumentasi +perbandinganliteratur
4.1.2
Penyakit yang ditemukan + dokumentasi
+perbandinganliteratur
4.1.3
Pengaruh Hama danPenyakitTerhadapProduksiKomoditas
4.1.3
MusuhAlami yang ditemukan + dokumentasi
4.2 Pengendalian yang dilakukan oleh
Petani
4.2.1 Pengendalian terhadap Populasi
Hama dan Penyakit
4.2.1.1 Pengendalian secara Biologi
Menurut narasumber, populasi hama dan penyakit yang
menyerang tanaman budidaya dapat dikendalikan melalui beberapa cara salah
satunya melalui cara biologi. Pada lahan budidaya milik petani, pengendalian
secara biologi juga dilakukan tetapi belum secara optimal. Pengendalian secara
biologi dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami yang terdapat di lahan.
Pada masa tanam komoditas wortel, petani tidak
menggunakan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Demikian halnya pada masa
tanam komoditas kentang. Petani di desa Sumberbrantas, khususnya Bapak
Sudarmadji menggunakan pengendalian secara biologi terhadap hama pada masa
tanam kubis yaitu dengan menggunakan predator jenis kumbang merah. Predator ini
memangsa serangga hama yang mengganggu produksi kubis, seperti ulat grayak dan
ulat Plutella.
4.2.1.2 Pengendalian secara Mekanis
Pengendalian secara mekanis adalah pengendalian
terhadap OPT dengan mengambil secara langsung OPT yang terdapat di lahan.
Kemudian OPT tersebut dimusnahkan atau dijauhkan dari lahan. Pengendalian
dengan cara ini sering kali digunakan oleh para petani karena relatif mudah
untuk dilakukan. Demikian halnya dengan petani yang terdapat di desa
Sumberbrantas juga sering menggunakan cara ini untuk mengendalikan OPT seperti
embuk pada komoditas wortel.
Pada pengolahan tanah saat akan memasuki masa tanam
wortel, petani mengambil satu per satu embug yang keluar dari tanah ketika
tanah dalam proses pencangkulan. Embug ini dikumpulkan dalam suatu wadah,
kemudian dimusnahkan pada tempat yang jauh dari lahan, agar telur dari embug
tersebut tidak berkembangbiak lagi di lahan.
4.2.1.3 Pengendalian Secara Fisik
Berdasarkan pernyataan petani, tidak ada
pengendalian secara fisik karena pengendaliannya sudah dilakukan secara
biologi, mekanis dan kimia.
4.2.1.4 Pengendalian Secara Kimia
Berdasarkan pernyataan
petani, petani mengunakan juga menggunakan pestisida untuk mengendaliakan hama.
Penggunaan pestisida berdasarkan seberapa besar serangan dari hama. Pada
tanaman wortel, petani menggunakan fungisida yang disemprotkan satu minggu
sekali. Pada tanaman kubis, untuk mengendalikan ulat (Plutella xylostella) petani menggunakan pestisida yang berformulasi
granule karena formulasi ini lebih tahan lama melekat pada daun. Pada tanaman
kentang, petani menggunakan ------- yang biasanya disemprotkan 3 hari sekali.
Pengaplikasian atau penggunaan pestisida dilakukan pada sore hari.
4.2.2 Pengolahan Tanah (Faktor Edafik)
dan Dampaknya.
Faktor
edafik yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan sifat-sifat tanah baik itu
secara fisik, biologi, maupun kimia yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
4.2.3 Pemanfaatan Musuh Alami
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, para petani di desa Sumberbrantas pada umumnya juga menggunakan
pengendalian terhadap hama dengan menggunakan musuh alami. Namun pengelolaannya
belum dilakukan secara maksimal, karena petani masih menganggap pengendalian
secara biologis hanya sebagai alternatif pengendalian. Hal ini juga disebabkan
karena dampak dari keberadaan musuh alami masih dianggap belum memberikan
pengaruh yang nyata terhadap populasi hama yang ada di lahan. Oleh karena itu,
menurut penuturan petani yang berada di sana, musuh alami yang paling sering
terlihat adalah musuh alami golongan predator yaitu kumbang merah. Predator ini
ditemui pada saat masa tanam kubis. Kumbang merah ini merupakan predator dari
hama jenis ulat grayak dan ulat Plutella
xylostella.
Keberadaan kumbang merah ini tentu saja akan
mengurangi jumlah populasi hama ulat yang berada di lahan. Namun hal tersebut
kurang mendapat perhatian dari para petani, sehingga perubahan populasinya
tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, para petani juga menggunakan
pestisida dalam kegiatan budidayanya, sehingga terdapat kemungkinan beberapa
musuh alami yang berada di lahan ikut terkena pengaruh pestisida. Hal ini dapat
mengurangi jumlah musuh alami di lahan, sehingga dampak keberadaannya terhadap
hama ulat tidak terlihat karena jumlahnya yang sudah berkurang.
4.2.4 Penggunaan Pestisida dan Dampaknya
Pestisida merupakan bahan kimia yang bersifat racun
yang digunakan untuk mengendalikan OPT yang mengganggu tanaman budidaya. Secara
umum, para petani lebih suka menggunakan pestisida dalam mengendalikan hama dan
penyakit tanaman yang menyerang tanaman budidayanya. Demikian halnya dengan
yang terjadi di desa Sumberbrantas. Bapak Sudarmadji yang merupakan petani di
desa itu juga menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT yang terdapat di
lahan.
Hampir setiap musim tanam, beliau menggunakan
beberapa jenis pestisida untuk mencegah serangan hama terutama ulat pada
budidaya wortel dan bakteri Phytoptora
infestant pada budidaya kentang. Beberapa jenis pestisida yang sering
digunakan oleh Bapak Sudarmadji yaitu
1.
Insektisida adalah pestisida yang digunakan untuk memberantas
serangga seperti belalang, kepik, wereng, dan ulat pada
budidaya wortel.
Dampak dari pembrian Insektisida pada tanaman budidaya wortel yaitu ........
Dampak dari pembrian Insektisida pada tanaman budidaya wortel yaitu ........
2.
Bakterisida adalah pestisida untuk memberantas bakteri atau
virus yang terdapat pada budidaya tanaman kentang.
Dampak dari pemberian bakterisida
pada tanaman budidaya tanaman kentang yaitu .......
Dalam jangka waktu pendek, penggunaan pestisida ini
efektif dalam mengurangi jumlah serangga hama di lahan. Setelah pengaplikasian
pestisida pada lahan, tanaman budidaya benar-benar terhindar dari serangan
hama. Tanaman tumbuh dengan baik tanpa ada cacat atau lubang pada daun akibat
serangan ulat.
4.2.5 Penggunaan Varietas Tahan dan
Dampaknya
Varietas tahan adalah varietas memiliki sifat-sifat
yang memungkinkan tanaman itu menghindar atau pulih kembali dari serangan hama
pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak
tahan (Soewito, 1993). Pada kegiatan budidaya yang dilakukan petani di desa
Sumberbrantas, para petani tidak menggunakan bibit maupun benih dari varietas
yang tahan terhadap penyakit maupun hama. Para petani cenderung menggunakan
bibit dan benih lokal. Untuk wortel dan kentang, para petani menggunakan benih
dan bibit hasil perkembangbiakan oleh petani sendiri, sedangkan untuk kubis
para petani menggunakan varietas Grand 11.
Petani tidak menggunakan varietas tahan dikarenakan
syarat dan tata tanam yang harus dipenuhi dianggap terlalu rumit dan susah
untuk dilakukan. Dan apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka tanaman
dengan varietas tahan tersebut tidak dapat tumbuh atau pertumbuhannya
terganggu. Hal tersebut mendorong petani untuk tetap menggunakan bibit dan
benih lokal dengan didampingi oleh berbagai cara pengendalian terhadap hama dan
penyakit lainnya. Oleh karena itu, tanaman para petani sering kali mendapat
serangan dari hama maupun penyakit, terutama pada tanaman kentang. Di desa
Sumberbrantas, tanaman kentang beresiko tinggi terserang penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Phytoptora
infestant.
4.3 Pembahasan
Lahan yang diamati di desa Sumberbrantas merupakan
lahan pertanian berupa tegalan seluas 1 ha. Lahan tersebut milik Bapak
Sudarmadji, seorang petani berusia 50 tahun yang merupakan anggota dari
kelompok tani yang terdapat di desa tersebut. Komoditas tanaman yang
dibudidayakan oleh Bapak Sudarmadji adalah wortel dengan pola tanam yaitu
monokultur. Saat pengamatan, wortel tersebut baru berusia sekitar 1 bulan.
Wortel tersebut akan dipanen pada usia sekitar 4 bulan. Setelah itu akan
dilakukan rotasi atau pergantian tanaman. Dalam 1 tahun, Bapak Sudarmadji
menanam 3 jenis tanaman yang berbeda, yaitu kentang selama 4 bulan, wortel
selama 4 bulan, dan yang terakhir adalah kubis selama 3 bulan 10 hari.
Menurut Bapak Sudarmadji, pola pengelolaan lahan
seperti itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kesuburan tanah, mengurangi
beban pengolahan tanah, dan mengefektifkan penggunaan pupuk pada masa tanam
sebelumnya. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Henri (2009) bahwa rotasi
tanaman bertujuan untuk menjaga struktur dan kesuburan tanah, menjaga
keseimbangan ekosistem terutama kandungan unsur hara dalam tanah, serta untuk
mengendalikan hama dan penyakit secara alami karena rotasi tanaman dapat
memutus siklus hidup patogen berbahaya. Namun menurut Reijntjes, dkk (1999)
pola tanam tumpang sari (intercropping) lebih baik digunakan oleh para petani
daripada pola tanam monokultur. Dalam bukunya, disebutkan bahwa tumpang sari
akan memberikan pengaruh positif untuk mengurangi jumlah hama, penyakit, dan
gulma. Dengan tumpang sari, serangga yang tergolong musuh alami dapat hidup
dengan baik, karena kebutuhan dan habitatnya tersedia sehingga mampu
mengendalikan jumlah serangga hama yang terdapat di lahan. Demikian halnya
dengan penyakit dan gulma, cenderung memiliki persentase kehidupan yang lebih
rendah pada pola tanam tumpang sari. Pada pola tumpang sari, penyiangan cukup
dilakukan sebanyak 1 kali, sementara pada monokultur penyiangan perlu dilakukan
sebanyak 3-4 kali.
Sebelum melakukan penanaman, tentunya diadakan
proses pengolahan lahan. Dalam mengolah lahan, Bapak Sudarmadji menggunakan
cara pengolahan yang umum dan sering dilakukan oleh para petani. Pengolahan
lahan dimulai dengan mencangkul tanah, kemudian membuat guludan. Setelah
guludan selesai dibuat, benih wortel ditabur dan ditutup kembali dengan sedikit
tanah. Pada 3 hari setelah tanam (HST) lahan disemprot dengan pembasmi gulma
untuk menghindari tumbuhnya gulma yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman
budidaya atau wortel.
Menurut Cahyono (2002), teknik budidaya wortel yang
baik dimulai dengan melakukan pembajakan terhadap lahan sedalam 30-50 cm. hal
ini bertujuan untuk membalikan tanah yang berada di dalam ke permukaan tanah.
Selanjutnya tanah tersebut dibiarkan selama 1 minggu agar terjemur oleh sinar
matahari, sehingga dapat mematikan patogen merugikan yang terdapat dalam tanah.
Setelah itu, tanah digemburkan dengan menggunakan garu untuk memperoleh
struktur tanah yang remah, sehingga memudahkan pertumbuhan akar dan umbi.
Kemudian tanah tersebut dibiarkan kembali selama 1 minggu, dan selanjutnya
dicangkul sedalam 30-40 cm. pada tahap selanjutnya, dibentuk bedengan (guludan)
dengan ukuran lebar 70-80 cm untuk sistem satu jalur tanaman dan 140-150 untuk
sistem dua jalur tanaman, dengan ketinggian + 40 cm. setelah
proses-proses tersebut selesai, lahaan siap untuk ditanami dengan benih wortel.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan di lahan
milik Bapak Sudarmadji, ditemukan beberapa organisme yaitu ulat grayak, ulat Plutella
xylostella, cacing
tanah, bekicot, embug, sejenis kumbang, dll. Organisme tersebut ada yang
berperan sebagai OPT, dan ada pula yang berperan sebagai musuh alami. Yang
termasuk OPT yaitu ulat grayak, ulat Plutella xylostella, bekicot, dan embug. Sementara yang
berperan sebagai musuh alami yaitu kumbang.
Untuk mengendalikan populasi dari organisme yang
termasuk dalam organisme pengganggu tanaman (OPT), para petani di desa
Sumberbrantas khususnya Bapak Sudarmadji menggunakan beberapa metode
pengendalian, diantaranya yaitu secara biologis, fisik, mekanis, dan kimia.
Secara biologis, beliau memanfaatkan peran musuh alami yang berada di lahan,
seperti kumbang merah. Selain itu, menurut
Surachman dan Suryanto (2007) pengendalian terhadap populasi ulat juga
dapat dilakukan dengan menaburkan kotoran kuda pada tanaman yang terserang,
atau membuat ramuan daun dlingo dan bengle atau lengkuas dan jahe yang dicampur
dengan air, kemudian disemprotkan pada tanaman.
Secara fisik, Bapak Sudarmadji tidak melakukan
pengendalian dengan cara tersebut, karena berbagai pengendalian yang dilakukan
sudah dirasa cukup untuk mencegah terjadinya peledakan hama yang merugikan
secara ekonomi.
Secara mekanis, Bapak Sudarmadji mengambil satu persatu
OPT yang terdapat di lahan. Cara ini biasanya dilakukan untuk mengendalikan
populasi embuk dan dilakukan bersamaan dengan proses pengolahan lahan. Selain
itu, menurut Rukmana (1995) pengendalian mekanis pada budidaya wortel juga
dapat dilakukan dengan memotong bagian tanaman wortel yang terserang penyakit
maupun hama, sehingga tidak menular pada tanaman lainnya.
Selain ketiga metode pengendalian tersebut, Bapak
Sudarmadji juga menggunakan metode pengendalian secara kimia, yaitu dengan
menggunakan pestisida. Metode ini adalah metode yang paling sering atau bahkan
selalu digunakan para petani khususnya Bapak Sudarmadji dalam mengendalikan OPT
yang terdapat di lahan. Hal ini dilakukan, karena pestisida dinilai lebih
efektif dalam mengendalikan populasi hama dan efeknya terhadap populasi hama
dapat dengan cepat terlihat. Pestisida yang biasa digunakan adalah ……………..
Sementara itu, pengendalian dengan memanfaatkan
varietas tahan maupun faktor edafik di lingkungan masih jarang dilakukan atau
bahkan belum diterapkan oleh Bapak Sudarmadji pada lahan miliknya. Hal ini dikerenakan pengaplikasiannya yang
tergolong rumit bagi beliau dan terdapat berbagai syarat yang harus dilakukan
dalam proses penanamannya. Dan menurut pendapat beliau, apabila salah satu dari
syarat tersebut tidak dilaksanakan, maka tanaman budidaya tersebut beresiko
tinggi untuk mengalami kegagalan atau produktivitasnya rendah.
4.4 Rekomendasi
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah
dilakukan, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang dihadapi oleh para petani
di desa Sumberbrantas khususnya Bapak Sudarmadji. Masalah yang dihadapi oleh
Bapak Sudarmadji adalah tingkat serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi,
terutama pada masa tanam komoditas kentang. Oleh karena itu, sering kali Bapak
Sudarmadji membutuhkan pestisida dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga biaya
yang dibutuhkan juga cukup besar.
Penggunaan pestisida secara terus menerus tersebut
dapat meracuni tanah sekitar tanaman dan juga akan memberi dampak negatif bagi
manusia terutama dalam hal kesehatan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan
kepada para petani, khususnya Bapak Sudarmadji untuk mengelola lahan dan
kegiatan budidayanya dengan cara yang berbeda dengan yang telah dilakukan.
Sebagai langkah awal, dapat diterapkan pola
penanaman secara tumpang sari (intercropping).
Tumpang sari adalah suatu bentuk
pertanaman
campuran (polyculture)
berupa pelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang bersamaan (Salikin, 2003).
Pola penanaman tumpang sari akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman budidaya maupun pengendalian jumlah OPT di lahan.
Dengan pola
penanaman tumpang sari, terdapat beberapa jenis tanaman di lahan yang akan
menciptakan kondisi lingkungan atau habitat hidup yang disukai atau mendukung
kehidupan musuh alami. Sehingga jumlah musuh alami dapat mengendalikan jumlah
OPT atau hama yang ada di lahan. Pada keadaan tersebut, hama atau OPT masih
tetap dapat ditemukan di lahan, tetapi keberadaannya tidak akan mengganggu
tanaman budidaya dan menimbulkan kerugian secara ekonomi. Demikian halnya
dengan populasi gulma yang ada di lahan. Dengan adanya kombinasi tanaman, maka
pertumbuhan gulma dapat ditekan dan kegiatan penyiangan dapat dilakukan hanya 1
kali dalam 1 masa tanam. Komoditas wortel dapat dikombinasikan dengan tanaman
sawi, kol, atau lainnya.
Dalam jangka
panjang, sebaiknya para petani mulai untuk menerapkan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan segala aspek,
yaitu dengan memperhatikan kondisi dan keadaan tanah, cara budidaya, dan
pengendalian terhadap populasi OPT tersebut. Pertama-tama dapat dilakukan usaha
untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia, sehingga kondisi lingkungan tidak
tercemar. Selanjutnya dapat dilakukan pengolahan tanah untuk menciptakan kondisi
tanah yang sehat. Kemudian dapat didukung dengan penggunaan varietas tahan dan
bibit maupun benih yang sehat, sehingga tanaman tahan terhadap serangan OPT
maupun penyakit. Dengan demikian tercipta keseimbangan di alam.
Bab V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
5.2
Saran dan kritik
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Bambang. 2002. Wortel: Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius
Henri. 2009. Prospek
Pengembangan Agribisnis Wortel (Online). hendri-wd.blogspot.com. Diakses
pada 15 Mei 2013.
Reijntjes,
Coen, dkk. 1999. Pertanian Masa Depan
(Penerjemah: Y. Sukoco, SS). Yogyakarta: Kanisius
Rukmana,
Rahmat. 1995. Bertanam Wortel.
Yogyakarta: Kanisius.
Salikin,
Karwan A. 2003. Sistem Pertanian
Berkelanjutan.Yogyakarta: Kanisius
Surachman,
Enceng dan Suryanto, Widada Agus. 2007. Hama
Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan. Yogyakarta: Kanisius.
0 comments:
Post a Comment