BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tragedi
yang terjadi di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten merupakan tragedi yang
terjadi berkaitan dengan permasalahan hak manusia yang paling dasar, yaitu hak
asasi manusia. Tragedi yang terjadi di Cikeusik berkaitan dengan masalah agama,
yang merupakan hak yang paling dasar bagi setiap individu manusia, oleh karena
itu masalah agama merupakan masalah yang sensitif yang akan gampang menyulut
emosi para pihak yang terkait di dalamnya, dan emosi tersebut berbuntutlah pada
sebuah tragedi yang sekarang kita kenal dengan tragedi Cikeusik.
Ahmadiyah
adalah sebuah nama yang tidak bisa lepas dari tragedi yang terjadi di Cikeusik.
Permasalahan Ahmadiyah merupakan permasalahan yang tidak mudah begitu saja kita
lepaskan dari konflik horisontal di Indonesia, bahkan di beberapa negara di
belahan dunia lainnya. Sebelum tragedi Cikeusik terjadi, sudah banyak
tragedi-tragedi keagamaan lainnya yang menyangkut Ahmadiyah, sebut saja
di Parung, Lombok Barat, Makassar dan di beberapa tempat lainnya, lantas
pertanyaan kita, apa yang salah dengan Ahmadiyah? Lalu apa yang mengidentikkan
Ahmadiyah dengan berbagai kekerasan berbasis agama lainnya yang terjadi di
Indonesia?
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Latar Belakang
Dari aliran Ahmaddiyah ?
2. Seperti apakah perjalanan
aliran Ahmaddiyah dari waktu ke waktu?
3.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan sekte atau gerakan sempalan dalam Islam yang menggeliat di awal abad 20, tepatnya pada 1889, di mana
lahir Jemaat Muslim Ahmadiyah. Akarnya adalah sebagian keyakinan bahwa akhir
zaman telah tiba, dan pembawa gerakan ini Mirza Ghulam Ahmad merupakan orang
yang terpilih sebagai Messiah atau dalam keyakinan Islam disebut sebagai
Al-Mahdi yang akan menuntun umat manusia kepada Islam sebenarnya.
Ajaran
yang mengambil Islam Sunni sebagai rujukan ini berkembang di Inggris, tentu
saja berkat kebijakan kolonialis Inggris di tanah Hindustan, yang tidak begitu
mencampuri urusan Agama dan keyakinan. Faktanya, pada masa itu, umat Islam
di tanah
Hindustan lebih memperhatikan bagaimana hubungan antara kaum Muslim
dan Hindu, setelah kerajaan Mughal sebagai kerajaan Islam terakhir di India
jatuh di bawah kaki Inggris.
Pada
babakan berikutnya, jamaah Ahmadiyah terbagi dalam dua kepemimpinan. Yakni
Jamaah Ahmadiyah di Qodyan, dan Jamaah Ahmadiyah di Lahore. Secara prinsip
tidak ada perbedaan mendasar dari keduanya. Namun yang lebih prinsipil,
jemaah Lahore tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, melainkan sebagai pembaharu saja.
Faktor
lain yang menumbuh kembangkankan gerakan Ahmadiyah adalah jatuhnyakekhalifahan
Usmaniyah. Kemudian, diikuti dengan dikuasainya Ka’bah di Mekkah oleh
keluarga Saud yang menginduk gerakan Islam Wahabbi.
Selain
itu, terdapat gerakan pembaharuan pan-Islamisme yang dibawakan oleh Jamaludin
Al Afghani menegaskan bahwa Islam tidak harus berbentuk Kekhalifahan, sehingga
muslim di dunia berhak membangun negara atau bangsanya sendiri. Maka di penjuru
bumi muncullah gerakan Islam serupa yang membawa jenis pemimpin
rohani yang bermacam-macam bentuknya, dari Salafi, Mujadidi,
Tarikat, Sufi, dsb.
Situasi umat
Islam sangat tidak jelas. Harus menginduk ke mana? Harus mengacu
kepada siapa? Karena itulah ketika Mirja Ghulam Ahmad mengakui bahwa dirinya
adalah salah seorang pembaharu Islam, hal ini sangat menarik bagi umat muslim
Hindustan yang membutuhkan kepastian kepemimpinan rohani.
Ajaran
Mirza Ghulam Ahmad mendapat tempat, karena memang situasi umat Islam pasca
runtuhnya kekhalifahan terakhir begitu menderita di tengah kolonialisme barat.
Bagi umat Islam pengikut Mirza Ghulam Ahmad, kondisi dunia seolah
mendekati kiamat. Maka tidak heran ajaran
Ahmadiyah tumbuh pesat. Saat ini di Pakistan saja pengikutnya berjumlah 4 juta
Jiwa. Dan secara keseluruhan di dunia jumlah pengikutnya mencapai 150 juta
orang.
Sisi
kontroversial dari keyakinan yang dibawa oleh pembaharuan gerakan Ahmadiyah
adalah status dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Dirinya mengakui mendapatkan
nubuwat atau ilham kenabian. Padahal Islam menolak Nabi dan Rasul lain
setelah Muhammad SAW.
Selain
itu, terdapat beberapa perbedaan mencolok dari keyakinan Islam secara umum,
yang berkaitan dengan masalah nubuwat mengenai kiamat, dan beberapa
permasalahan dasar Aqidah, yang bagi umat Islam sudah
final tidak bisa diutak-atik lagi.Bersamaan dengan kontroversi itu. Adalah
rentetan kekerasan atas nama Agama di seluruh penjuru dunia. Karena bagi umat
Islam mainstream, apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah merupakan
penodaan terhadap kesucian Islam. Tidak heran umat Islam mengabaikan sumbangsih
yang telah diberikan oleh pengikut Ahmadiyah, dan menyebutnya sebagai
sumbangsih dari nonmuslim.
Saat
Ini memasuki tahun-tahun awal millenium, ajaran mengenai hari akhir masih laku
dijual. Bahkan, film tentang kiamat dengan spesial efek yang hebat: 2012 dikerumuni
antrean penonton. Ini bisa dikategorikan bahwa ajaran Ahmadiyah masih bisa
bertahan hidup dan semakin banyak pengikutnya. Walaupun, tidak semua kalangan
mengindikasikannya demikian.
Ajaran
Ahmadiyah ini ditolak di banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Tetapi,
dengan lindungan kebebasan dan humanisme yang modern, aksi menghalangi
peribadatan Ahmadiyah, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak
asasi manusia.
2.2
Ahmadiyah dari waktu ke waktu
Periode
1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode yang penuh
kepahitan bagi Ahmadiyah. Para pemberontak DI/TII, membantai beberapa orang
Ahmadiyah di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh
dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Pada tahun 1953,
pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik
Indonesia. Organisasi ini berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik
Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun
1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan
dekat dengan orang-orang Ahmadiyah.
Sebagaimana
upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah
Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia
mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan
Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional
Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia juga terang-terangan tak
menyukai Ahmadiyah. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi
berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh
maupun dalam bidang tarbiyat. Tahun 1974, MUI memberikan fatwa sesat terhadap
Ahmadiyah.
Halangan
dan rintangan tersebut oleh kaum Ahmadiyah dimaknai sebagai penggenapan
nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati
Rasulullah s.a.w. di akhir zaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan
para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al
Jumu’ah: 3-4.
Periode
1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para
ulama. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Majelis Ulama
Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai
non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Selanjutnya MUI
menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
Periode
1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba,
Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan
Moslem Television Ahmadiyya (MTA).
Tahun
1999 saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden keempat Republik Indonesia,
Ahmadiyah seperti mendapat bapak asuh yang melindungi mereka. Secara terbuka Gu
Dur, pangilan akrab Abdurrahman Wahid siap membela kaum Ahmadiyah dari
"serangan" umat Islam yang tak sepakat dengan ajaran Ahmadiyah.
Tahun
2000 warga Ahmadiyah berhasil menggapai mimpi lamanya untuk mendatangkan
pimpinan Ahmadiyah internasional yag berkedudukan di London, Inggris, ke Indonesia.
Pimpinan tertinggi Ahmadiyah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari
London menuju Indonesia. Ketika itu dia sempat bertemu dan mendapat sambuatan
baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin
Rais.
Tahun
2005, MUI menegaskan kembali fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Akibatnya, banyak
mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Selain itu, banyak Ahmadi yang
menderita serangan secara fisik. Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut
Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Penyerbuan
yang menimpa warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan
Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Ahad (6/2) pukul 10.45 yang
mengakibatkan tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah adalah peristiwa tragis
paling aktual, setelah sebelumnya basis-basis mereka di Parung, Lombok Barat,
Makassar, dan tempat-tempat lainnya diobrak-abrik massa.
Sekarang
di tahun 2011 ini, lebih dari seribu warga Cikeusik, Pandeglang, Banten,
menyerang puluhan pengikut aliran Ahmadiyah Minggu pagi, 6 Februari. Akibatnya,
tiga jemaah aliran yang dianggap menyimpang itu tewas dalam insiden di rumah
Suparman, pimpinan Ahmadiyah setempat. Selain itu, delapan orang terluka parah,
dua mobil (Innova dan Suzuki APV), dua motor, dan sebuah rumah di Desa Umbulan
hangus dibakar massa.
Kericuhan
tersebut bermula dari keresahan warga setempat atas aktivitas jemaah Ahmadiyah
yang dianggap menyebarkan ajaran sesat di wilayah tersebut. Sebab, sejak Minggu
pagi, jemaah Ahmadiyah dari berbagai daerah datang dan berkumpul di rumah
Suparman. Saat itu beberapa tokoh setempat secara baik-baik meminta Suparman
dan pengikutnya menghentikan aktivitas mereka.
Warga
memperingatkan agar jemaah Ahmadiyah tidak menghelat pengajian. Sebab, menurut
mereka, aktivitas Ahmadiyah bertentangan akidah Islam yang selama ini diyakini
warga. Namun, permintaan tersebut direspons keras oleh pihak lain.
Berbagai
aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah bermunculan setelah Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari akidah dan
menimbulkan keresahan, perpecahan, serta berbahaya bagi ketertiban dan keamanan
negara.
Menurut MUI, Ahmadiyah menganut paham bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir dan menganggap Ghulam Mirza Ahmad sebagai nabi. MUI mengeluarkan fatwa itu dalam Musyawarah Nasional II yang diselenggarakan pada 26 Mei–1 Juni 1980 di Jakarta.
Menurut MUI, Ahmadiyah menganut paham bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir dan menganggap Ghulam Mirza Ahmad sebagai nabi. MUI mengeluarkan fatwa itu dalam Musyawarah Nasional II yang diselenggarakan pada 26 Mei–1 Juni 1980 di Jakarta.
Sudah
jelas bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai ada nabi lagi setelah Nabi
Muhammad SAW adalah sesat, tidak sesuai dengan Al Quran. Dan hadisr Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu Pemerintah harus membubarkan Ahamdiyah, sebagaimana
sesuai dengan keputusan MUI dan tuntutan masyarakat.
Kebebasan
keyakinan dan kebebasan beragama yang dianut oleh Jamaah Islam Liberal (JIL)
yang sering diplesetkan Jemaah Iblis Laknatullah seperti Ulil Anshar Abdalla,
bukan untuk orang-orang yang “mengaku Islam” , padahal sesungguhnya bukan
Islam. Tapi kebebasan untuk memeluk agama yang diakui Pemerintah, yaitu Islam,
Kristen, Protestan, Hindu dan Budha serta Kongfuchu.
Sebenarnya
telah banyak kalangan berpendapat, untuk menemukan win-win solution maka labih
baik Jemaah Ahmadiyah memisahkan diri dari Islam dan berdiri sebagai agama
tersendiri. Namun kelihatannya, anggota Jemaat Ahmadiyah tidak mau bila
Ahmadiyah dijadikan agama tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari 12 butir
pernyataan yang dikeluarkan Ahmadiyah pada tanggal 14 Januari 2008.
1.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah
syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah
SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah,
artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
2.
Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah
adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).
3.
Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru,
mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri
dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
4.
Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus
dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah
Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata
Rasulullah.
5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa
a. tidak ada wahyu
syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
6.
Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman
rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi
nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat
(1908).
7.
Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang
Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan.
8.
Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang
kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
9.
Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat
Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.
10.
Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkimpoian di
Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya
berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan
perundang-undangan.
11.
Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja
sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam
perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
12.
Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia
mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta
masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta
persatuan dan kesatuan bangsa.
2.3 Tinjauan Hukum, HAM dan
Pancasila
Kejadian
yang menimpa Ahmadiyah merupakan kejadian yang kontroversial dan banyak
kalangan yakin bahwa telah terjadi pelanggaran hukum yang berat dan bahkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Banyak diantara berbagai pihak terutama
menyayangkan tragedi di cikeusik tersebut dapat terjadi dan seperti terdapat
unsur pembiaran dari pemerintah dalam menangani permasalahan Ahmadiyah yang
berlarut-larut tersebut, sehingga sampai terjadilah tragedi di Cikeusik
tersebut.
Bahkan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan kesimpulan awal
tentang kasus kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.
Terjadinya pelanggaran HAM, kesalahan intelijen polisi, dan adanya pengerahan
massa yang terorganisir adalah hasil dari penyelidikan awal dari Komnas HAM.[6]
Bagaimanapun
secara normatif di Indonesia kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dijamin
oleh negara. Dan tercantum dalam berbagai konvesi dan peraturan diantaranya;
Didalam
Deklarasi Kairo tentang HAM dalam islam yang diselenggarakan oleh Negara-negara
islam,kebebasan beragama tercantum pada pasal 10-nya yang menyatakan :[7]
“Islam is the religion of
unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion man or to
exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religion or
to atheism”
Yang
maknanya yaitu dalam islam merupakan sebuah larangan untuk melakukan segala
bentuk paksaan terhadap seseorang atau mendayagunakan kekurangannya untuk
pindah agama.
Dalam pandangan hukum
internasional, kebebasan beragama dapat kita lihat pada “United Declaration Of
Human Rights (UDHR) pada pasal 18 yang menyatakan :[8]
“Everyone has the right
to freedom of thought, conscience and religion, this right includes freedom to
change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with
others and in public or private, to manifest his religion or belief
in teaching, practice, worship and observance”
Yang
bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan
untuk berfikir berdasarkan hati nuraninya dan untuk memeluk agama, hak
ini termasuk (mencakup) kebebasan mengubah agama/kepercayaannya.
UDHR
merupakan standar international dalam hak asasi manusia yang harus melandasi
setiap peraturan dalam setiap Negara. Seperti yang disebutkan dalam pembukaan
UDHR :[9]
“…. Proclaims this universal
declaration of Human Rights as common standart of achievement for all peoples
and all nations….”
Dikarenakan
UDHR dijadikan patokan dalam setiap Negara, maka UDHR ini sangat mempengaruhi
hukum nasional kita terutama pada perkembangan konstitusi kita. Dalam awal
perumusan undang-undang dasar perumusan mengenai Hak Asasi Manusia dalam UUD
diperdebatkan karena ada pendapat berbeda antara Bung Karno dan Bung Hatta dan
Yamin. Bung Karno memandang HAM merupakan cermin pandangan barat dengan paham
individualism yang identik dengan kolonialisme dan imperialisme, jadi Bung
Karno menyarankan HAM hanya dirumuskan dasar-dasarnya saja dalam UUD. Berbeda
dengan Muhammad Hatta menyarankan agar masalah HAM dirumuskan dengan jelas dan
banyak dalam UUD agar tidak terjadi penyelewengan terhadap HAM oleh
pemimpin-pemimpin bangsa.
UUD
1945 pada awalnya hanya memuat tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar-dasarnya
saja. Namun, pada tahun 1950 saat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat
(RIS) dengan konstitusinya Undang-undang dasar sementara 1950 (UUDS 1950),dalam
UUDS 1950 ini lebih banyak memuat tentang HAM karena adanya pengaruh dari UDHR
pada tahun 1948. Setelah dekrit presiden pada tahun 1959 UUDS 1950 dinyatakan
tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD 1945.
Seiring
berjalan waktu hingga terjadi reformasi banyak desakan perubahan terhadap UUD
1945, hingga akhirnya terjadi amandemen sebanyak empat kali yang pada
amademennya hal mengenai HAM ini begitu diperhatikan. Hingga sekarang hal
mengenai HAM telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga telah resmi
menjadi hak-hak konstitusional setiap orang atau constitusional rights. Dalam UUD 1945 yang telah
diamandemen mengenai kebebasan beragama bertambah tidak hanya dalam pasal 29
saja, tetapi juga pada pasal 28E ayat (1) dan (2) pada bab Hak Asasi Manusia.
Hal ini menyatakan bahwa kebebasan beragama itu merupakan suatu hal penting
yang harus diperhatikan. Negara harus menjamin dan juga harus melindungi
kebebasan beragama. Ditambah lagi dengan adanya Undang-undang nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalam pasal 22 menjelaskan;[10]
Ayat (1) : Setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2)
: Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam
ICCPR yang telah diratifikasi pemerintah, yaitu dalam UU No. 12 Tahun 2005 pun
ditegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan itu harus dijamin oleh negara, yaitu
pada pasal 18 ayat 1 dan 2;[11]
Pasal
18
1.
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2.
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Dilihat
dari beberapa sudut pandang baik Islam, Hukum Internasional maupun Hukum
Nasional kebebasan beragama merupakan suatu hak asasi yang melekat pada setiap
manusia yang harus dihargai. Peran setiap Negara ialah memberikan kebebasan
beragama serta juga melindunginya. Di negara Indonesia berdasarkan UUD 1945-nya
wajib melindungi dan memastikan rakyatnya bebas untuk beribadah sesuai dengan
kepercayaannya. Tak lupa juga pentingnya toleransi dan tenggang rasa antar umat
beragama sehingga terciptanya kerukunan antar umat beragama yang diharapkan.
Jika
negara dalam hal melanggar prinsip-prinsip HAM maka negara dalam hal ini dapat
dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. Kebebasan beragama dan berkeyakinan
merupakan salah satu unsur Ham yang harus dilindungi negara karena termasuk
dalam non derogable rights;
non
derogable rights ; Kovenan Hak SIPOL diantaranya
memuat hak-hak seperti hak hidup, hak bebas dari perbudakan dan penghambaan,
hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan atau
penghukuman keji, hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan
martabatnya sebagai manusia, hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum, hak
untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang, hak untuk bebas
dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut, hak diakui sebagai pribadi
didepan hukum, kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama.
Dengan
demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau
bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Kalau toh pembatasan
terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat komulatif yang
ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat
komulatif yang dimaksud adalah
pertama: sepanjang
ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang
mengancam kehidupan bernegara,
kedua: penangguhan
atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
dan ketiga pembatasan
dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa
Bangsa(PBB).
Butir
Pancasila Sila Pertama
Atas
perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para
pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.
Searah
dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam
beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila.
Diantaranya:
- Bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
- Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
- Agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan
segala paparan secara ideologis dan normatif di atas tentu kita dapat melihat
bahwa tragedi di Cikeusik yang berkaitan dengan Ahmadiyah dapat dikatakan
terjadi suatu pelanggaran HAM, karena negara melanggar prinsip-prinsip HAM.
Negara sebagai subjek hukum HAM pada dasarnya sebagai entitas utama yang
bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM, dan dalam konteks
ini negara didakwa telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena tidak berupaya
melindugi atau meniadakan hak-hak warga negaranya yang termasuk non-derogable
rights, yang diantaranya adalah hak untuk berkeyakinan agama.
Dari
sisi empiris terlihat bahwa negara terlihat melakukan pembiaran terhadap
penyerangan Jemaah Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik. Negara dengan segala
aparaturnya seharusnya telah bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan
terjadinya gesekan di Cikeusik, karena di berbagai daerah lainnya telah banyak
terjadi konflik serupa antara Jamaah Ahmadiyah dengan warga masyarakat lainnya.
Negara dianggap lalai dalam pencegahan dan penanggulangan konflik Cikeusik,
seharusnya negara melalui Badan Intelijen Negara telah bisa memprediksi aksi
masa yang akan terjadi kala itu dan melakukan antisipasi dengan mengerahkan
aparat kepolisian untuk meredam aksi masa tersebut.
Aksi
masa yang terlihat rapi dan terkoordinir serta berjumlah lebih dari 1000 orang
tersebut merupakan tanda bahwa aksi penyerangan tersebut sebenarnya telah direncanakan secara matang, dan negara
seharusnya sudah dapat mendeteksi dan melakukan langkah guna menjamin kebebasan
untuk berkeyakinan dan bahkan untuk mempertahankan kehidupan dari warga
Ahmadiyah, terlepas kita melihat daripada aspek substansi ajaran Ahmadiyah.
Negara pada dasarnya dapat melakukan suatu perundingan diantara pihak-pihak
yang terkait agar setiap masalah dapat diseleaikan secara damai dan
kekeluargaan, seperti dalam prinsip Pancasila, tanpa perlu terjadi pertumpahan
darah di masyarakat.
Diluar
aspek Cikeusik pun sudah vokal terdengar peristiwa-peristiwa kekerasan
berpatokan agama dan keyakinan, namun negara seakan menutup mata akan segala
kejadian tersebut, sebut saja peristiwa Temanggung, lalu peristiwa Ciketing.
Semua itu merupakan potret-potret bahwa negara seolah meng-amini segala
kekerasan yang berlatar belakang agama, dan akhirnya rakyat yang merasa benar dengan
“datang” menegakkan ham dengan cara main hakim sendiri.
Kekerasan
yang dilakukan rakyat pada hakikatnya merupakan akibat dari respon negara yang
terlambat bahkan nihil, dalam mendengar aspirasi masyarakat akan permasalahan
keagamaan yang notabenenya sangat sensitif. Negara tidak menjadi suatu pemandu
dan tidak menjadi suatu pawang dalam menjaga koridor-koridor kebebasan dan
kepatutan dalam menjalankan keyakinan dan ritual keagamaan dari masyarakat.
Sosok negara seakan “hilang” dalam setiap tragedi yang berkenaan dengan masalah
keagamaan.
Negara
sudah tidak dapat tawar-menawar lagi dalam menegakkan HAM dalam kehidupan
berkeyakinan di masyarakat. Segala landasan baik ideologis dan normatif
mengaruskan negara wajib menegakkan Hak Asasi Manusia bagi rakyatnya, hal itu
wajar, karena negara memiliki sega instrumen kekuasaan untuk menjaga HAM, dan
sejalan dengan teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Thomas Hobes.
Tragedi
di Cikeusik, Propinsi Banten tersebut mau tak mau harus segera di usut, jangan
ada kesan seolah negara melegitimasi penyerangan Jamaah Ahmadiyah tersebut
dengan membiarkan pelaku kekerasan beredar bebas di masyarakat, dengan begitu
maka rekyat akan bercermin bahwa bila melakukan kekerasan atas nama agama
adalah hal yang dibenarkan negara, jangan sampai hal itu terjadi. Jadikan kasus
Cikeusik ini kasus yang terakhir dalam permasalahan kebebasan berkeyakinan.
Kelak bila ada masalah, negara harus menyediakan forum untuk berdialog dengan
jalan kekeluargaan, bukan membiarkan kekerasan yang menunjukan siapa yang
benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Adamson, Iain. 2010. Mirza
Ghulam Ahmad dari Qadian. Yogyakarta: Pustaka Marwa
Anwar, A. Daniel (peny).
2009. Al-Qur’an Menurut Mirza Ghulam Ahmad; Kumpulan Tulisan, Khutbah,
Fatwa, dan Ceramah. Jakarta: Mataram Publishing
----------- (peny). 2009. Muhammad
Menurut Mirza Ghulam Ahmad; Kumpulan Tulisan, Khutbah, Fatwa, dan
Ceramah. Jakarta: Mataram Publishing
Badan Litbang dan Diklat.
2008. Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun
2008; Nomor: Kep-033/A/ JA/6/2008; Nomor: 199 Tahun 2008 tentang “Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Jamil, M. Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Machasin. 1995. “Jemaat dan Gerakan Ahmadiyah” dalam
Abu Hamid, dkk., Mengenal Ajaran Beberapa Aliran Islam di
Indonesia. Surakarta: UMS
Mudzhar, M Atho. 2008. “Kebebasan
Beragama dan Beribadah di Indonesia” dalam Jurnal Harmoni, Volume VII, Nomor
25, Januari-Maret 2008
Rumadi. 2006. “Politik Dinding
Tempat Ibadat” dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20, Oktober-Desember 2006
Sofanudin, Aji. 2008. Ahmadiyah
dalam Sorotan Media, tidak diterbitkan
---------------.2008. Prosedur
Penyelesaian Ahmadiyah, tidak diterbitkan
Sulaiman, dkk., 2008. Laporan
Pemantauan JAI di Jawa Tengah. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang
Thohir, Mudjahirin. 2007.
“Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu Pendekatan Sosial
Budaya” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya pada
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
---------------.2010. “Agama
dan Gerakan Keagamaan” Makalah Diskusi Balai Litbang Agama Semarang, Oktober
2010
0 comments:
Post a Comment